Part 3
First Love - After 7 years
Senyum
Pernahkah orang yang kita suka tersenyum dan melirik meskipun hanya sekilas? Apa yang kita rasakan di waktu yang sama? Apakah hanya cukup membalas lirikan dan tersenyum? Atau sebaliknya mata kita terus selalu meihatnya hingga dia menghilang dihadapan kita. Senyuman yang telah dia lemparkan seolah-olah mengubah kita di hari itu juga. Senyuman yang selalu membekas dalam ingatan dan tak tahu kapan itu luntur.
Flashback...
Suara alarm memecah kesunyian pagi ini. Ku buka mataku yang telah terpejam dan berjalan tuk menghentikan suara itu. Rasa kantuk yang masih menyelimutiku, lalu ku rebahkan lagi tubuhku di peraduanku kembali. Ku tarik selimutku, tetapi aku tak melanjutkan tidurku. Ku tatap langit-langit ruanganku nan kecil mungil. Pagi ini aku kembali mengingat kejadian yang telah terjadi kemarin. Tak biasanya ada seorang laki-laki yang tersenyum kepadaku. Entah apa yang terjadi hari itu hanya kebetulan atau karena hal lain. Senyuman tipis yang terpancar darinya seolah-olah mengubahku kala itu. Senyum pertama yang aku dapatkan dari orang lain. Senyuman yang tiba-tiba selalu terngiang dalam ingatanku. Apa yang terjadi sebenarnya padaku? Sembariku memukul dinding yang dipenuhi oleh bingkai foto kecilku. Tanpa sadar bingkai terjatuh membuatku terbangun dan memasangnya. Aku merebahkan diri ke sebuah dipan mungil dan melirik jam dinding. Ternyata waktu masih pukul 04.00, setidaknya membuatku berpikir kali ini kurang telitinya aku mengatur waktu. Saat aku mencoba memejamkan mata, suara langkah kaki terdengar dan menuju ruanganku. Ku rapatkan selimutku kembali dan memejamkan mata. Aku marasakan seseorang membuka pintu.
"kriiieett" suara ganggang pintu.
"Dor, akhirnya kena lagi" ucap Ahes tertawa.
"Brother, hentikan cukup membuat adikmu takut" jawabku sembari Ahes ku pukul.
"Maafkan harusnya ku beri tahu kalau aku pulang ke rumah" ucap Ahes.
"Biasanya nginap di rumah sahabat dan pulang pagi, tumben ingat adik sendirian di rumah" sahutku kesal.
"Oke, hari ini aku mau membuatkan sarapan untukmu!".
"Brother, kapan mama dan ayah pulang?".
"Pada waktunya nanti akan pulang ke rumah".
Dia
menuju tempat tidur di dekatku dan merebahkan diri sejenak. Dia
memejamkan mata sejenak dan aku melanjutkan tidurku. Aku dibangunkan
oleh suara yang lembut dan kecupan dari seorang Ahes. Ahes
adalah saudara kandungku satu-satunya. Jika dia keluar rumah, aku
sangat mengkhwatirkannya. Hari ini dia pulang lebih awal dan
membuatkanku sarapan. Tak seperti biasanya, dia lebih memilih menginap
berhari-hari di rumah sahabatnya. Apa yang membuat dia berubah hari ini entahlah berbeda. Biasanya dia tidak terlalu peduli, bahkan setiap waktu ada ajakan bertengkar karena suatu hal sepele.
"Adikku, bangunlah" kecup Ahes dikeningku.
"Iya, brother".
"Sarapanlah setelah ini dan ku antar ke sekolah" ujar Ahes.
Keadaan linglung aku berjalan mengambil handuk dan menyiapkan seragam sekolah. Kedua mataku yang masih menempel erat satu-sama lain sehingga sulit aku membukanya. Aku berjalan terus meraba-raba dinding, hingga aku merasakan tanganku menyentuh sebuah keran. Kemudian, ku basahi wajahku dengan air. Segar dan menyegarkan saat bersamaan air itu membasahi wajahku. Ku tatap cermin dan aku melihat diriku yang bukan seorang gadis kecil. Aku tersenyum dan menyadari memang tak ada yang salah, ketika telah jatuh cinta. Inilah yang pertama bagiku dan apakah akan diakhiri menjadi cerita happy ending atau sad ending atau hanya persinggahan saja. Aku semakin terlarut dalam lamunan, tetapi lamunan itu dibuyarkan oleh ketukan pintu. Secepat mungkin aku bersiap-siap. Aku melihat waktu di jam tangan dan menunjukkan pukul 06.00, hal ini membuatku sadar berapa lama aku melamun. Segera aku turun ke bawah dan menghabiskan sarapan yang sudah saudaraku siapkan. Ditengah-tengah aku melahap sarapanku Ahes menegurku.
"Sister biasanya kamu selalu cepat" tegur Ahes.
"Ada hal yang membuatku berpikir pagi ini, brother".
"Habiskan sarapanmu, ku antar kamu ke sekolah".
Aku menghabiskan sarapanku dan tanpa menyisakan apapun dipiring. Ahes menarik tanganku dan mengantarku ke sekolah. Ahes membukakan pintu mobilnya dan memintaku masuk. Kemudian, Ahes menyusul masuk ke dalam. Pagi yang tak seperti lainnya, pagi dipenuhi langit abu-abu dan diikuti tetes-tetes air turun. Titik-titik air yang membasahi kaca mobil milik Ahes. Ku tatap suasana luar Ahes mengajakku bicara tentang suatu hal.
"Nana, apa kamu ada masalah?" tanya Ahes.
"No, tak ada masalah!".
"Aku pernah bertanya suatu pertanyaan, apa kamu menemukan jawaban?".
"Aku memilih untuk diam dulu, brother" jawabku pada Ahes.
"Mengapa kamu lebih memilih diam, adikku?" Ahes bertanya lagi.
"Ini awal bagiku, aku jatuh hati pada seseorang. Aku tak mau salah memilih, brother. Aku beranggapan dia mungkin hanya lewat saja".
"Okay, aku mengerti" ujar Ahes mengangguk.
Ahes semakin menambah laju mobilnya. Setidaknya ini berlaku bagi rumah pinggiran kota. Aku melihat semakin mendung dan pastinya aku tidak membawa payung. Tak lama mobil sampai di depan gerbang sekolah. Ahes merasa khawatir sebab rintik-rintik semakin deras. Tetapi aku meyakinkannya, aku bisa menumpang satu payung dengan orang lain. Aku mencium tangan saudaraku dan menuruni mobil. Aku berlari menuju pos penjaga yang sepi kala itu. Berharap ada seorang yang mau satu payung denganku. Menunggu beberapa menit bisa dikatakan melelahkan. Tak ada orang yang menawarkan payung untukku. Ditengah rasa kesalku seorang menepuk bahuk dan ku balikkan badanku. Hey, dia ternyata Rosa menghampiriku berdiri dan bergumam kesal karena ku tinggalkan ke sekolah sendirian. Aku hanya tertawa kecil dan meminta maaf padanya.
"Na, tadi kamu berangkat dulu dan aku ditingga. Semalam aku sudah bicara ke kakakmu kalau aku berangkat bersama" gumam kesal Ros.
"Aku tak tahu kalau kamu sudah bilang ke kakakku" ucapku.
"Kebiasaan Kak Ahes gampang lupa" ujar Ros cemberut.
"Okay, sepulang dari sini kamu bisa protes ke kakakku".
Aku dan Ros melanjutkan obrolan kami dan berjalan menuju kelas masing-masing. Kami adalah sahabat tetapi berbeda kelas. Jika salah satu sudah keluar dan harus mengalah menunggu. Pagi itu aku melihat Fatur berjalan ditengah gerimis yang deras. Karena Rosa ada keperluan mendadak kami harus berpisah. Aku harus melewati lapangan basket yang luas agar sampai di kelas. Gerimis bertambah semakin deras dan berubah menjadi hujan. Aku harus berhenti dan berteduh, biarkan aku terlambat karena hujan. Aku duduk di bangku kosong dan menatap hujan. Momen yang ku tunggu, telah lama tak turun hujan. Aku melirik jam tanganku, lima menit lagi kelas akan di mulai. Ku telungkupkan wajahku di kedua tanganku, merasakan hembusan angin dan rintikan air. Aku tersadar akan sebuah sentuhan, ku buka wajahku dan ku tatap dia. Dan dia adalah Ahes memberiku payung. Saat yang sama datanglah seorang Fatur mengajakku untuk berjalan bersama.
"Na, sadarlah jangan tidur di tengah hujan" suara Ahes memecah.
"Rosa ada perlu dadakan, aku sendirian jadi".
"Kubawakan payung untukmu baru saja aku membelinya" ujar Ahas tersenyum.
"Terima kasih, brother".
Ketika obrolan kami dipecahkan oleh suara Fatur yang datang dan menghampiri.
"Hey, kamu Nana bukan?" tanya Fatur.
"Iya, benar. Mengapa kamu belum ke kelas juga?".
"Oh, tadi aku melihatmu bersama sahabatmu dan aku mengikutimu" ujarnya tersenyum.
"Dia yang bernama Fatur?" tanya Ahes terbelalak.
"Perkenalkan saya Fatur teman sebangku Nana" Fatur mengulurkan tangan pada Ahes.
"Ku titip adikku, aku harus berangkat ke kampus" jawab Ahes menepuk pundak Fatur dan meninggalkan kami.
"Ayo, Nana! Kita jalan sekarang".
Di tengah hujan kami harus berbagi payung, ku lihat lantai atas dimana kelasku berada masih terlihat anak-anak yang berlalu lalang. Aku dan dia memulai pembicaraan ringan. Pagi itu aku bisa melihat senyumannya sangat menenangkan untukku. Sesekali dia berbicara sambil menatapku, senyuman itu sulit untuk dihapus dari ingatanku hingga saat ini. Sebuah hal yang ku ingat dari cinta pertama ketika bisa melihatnya dan dia tersenyum kepadaku. Situasi waktu itu, ku anggap sepele. Setelah perpisahan begitu lama dan belum terpisah jauh ketika datang ke tempat yang spesial baginya dan mencuri waktu demi melihatnya meski sebentar. Awal jatuh hati tak ada kiranya, hanya anggapan sebuah singgahan. Ketika berpisah dan memilih melanjutkan pilihan barulah terasa dan mendalam hingga saat ini. Menghapusnya sangat susah dari memori-memori. Ku anggap ini adalah hal terindah dan merasakan kehadiran cinta pertama.
"Sarapanlah setelah ini dan ku antar ke sekolah" ujar Ahes.
Keadaan linglung aku berjalan mengambil handuk dan menyiapkan seragam sekolah. Kedua mataku yang masih menempel erat satu-sama lain sehingga sulit aku membukanya. Aku berjalan terus meraba-raba dinding, hingga aku merasakan tanganku menyentuh sebuah keran. Kemudian, ku basahi wajahku dengan air. Segar dan menyegarkan saat bersamaan air itu membasahi wajahku. Ku tatap cermin dan aku melihat diriku yang bukan seorang gadis kecil. Aku tersenyum dan menyadari memang tak ada yang salah, ketika telah jatuh cinta. Inilah yang pertama bagiku dan apakah akan diakhiri menjadi cerita happy ending atau sad ending atau hanya persinggahan saja. Aku semakin terlarut dalam lamunan, tetapi lamunan itu dibuyarkan oleh ketukan pintu. Secepat mungkin aku bersiap-siap. Aku melihat waktu di jam tangan dan menunjukkan pukul 06.00, hal ini membuatku sadar berapa lama aku melamun. Segera aku turun ke bawah dan menghabiskan sarapan yang sudah saudaraku siapkan. Ditengah-tengah aku melahap sarapanku Ahes menegurku.
"Sister biasanya kamu selalu cepat" tegur Ahes.
"Ada hal yang membuatku berpikir pagi ini, brother".
"Habiskan sarapanmu, ku antar kamu ke sekolah".
Aku menghabiskan sarapanku dan tanpa menyisakan apapun dipiring. Ahes menarik tanganku dan mengantarku ke sekolah. Ahes membukakan pintu mobilnya dan memintaku masuk. Kemudian, Ahes menyusul masuk ke dalam. Pagi yang tak seperti lainnya, pagi dipenuhi langit abu-abu dan diikuti tetes-tetes air turun. Titik-titik air yang membasahi kaca mobil milik Ahes. Ku tatap suasana luar Ahes mengajakku bicara tentang suatu hal.
"Nana, apa kamu ada masalah?" tanya Ahes.
"No, tak ada masalah!".
"Aku pernah bertanya suatu pertanyaan, apa kamu menemukan jawaban?".
"Aku memilih untuk diam dulu, brother" jawabku pada Ahes.
"Mengapa kamu lebih memilih diam, adikku?" Ahes bertanya lagi.
"Ini awal bagiku, aku jatuh hati pada seseorang. Aku tak mau salah memilih, brother. Aku beranggapan dia mungkin hanya lewat saja".
"Okay, aku mengerti" ujar Ahes mengangguk.
Ahes semakin menambah laju mobilnya. Setidaknya ini berlaku bagi rumah pinggiran kota. Aku melihat semakin mendung dan pastinya aku tidak membawa payung. Tak lama mobil sampai di depan gerbang sekolah. Ahes merasa khawatir sebab rintik-rintik semakin deras. Tetapi aku meyakinkannya, aku bisa menumpang satu payung dengan orang lain. Aku mencium tangan saudaraku dan menuruni mobil. Aku berlari menuju pos penjaga yang sepi kala itu. Berharap ada seorang yang mau satu payung denganku. Menunggu beberapa menit bisa dikatakan melelahkan. Tak ada orang yang menawarkan payung untukku. Ditengah rasa kesalku seorang menepuk bahuk dan ku balikkan badanku. Hey, dia ternyata Rosa menghampiriku berdiri dan bergumam kesal karena ku tinggalkan ke sekolah sendirian. Aku hanya tertawa kecil dan meminta maaf padanya.
"Na, tadi kamu berangkat dulu dan aku ditingga. Semalam aku sudah bicara ke kakakmu kalau aku berangkat bersama" gumam kesal Ros.
"Aku tak tahu kalau kamu sudah bilang ke kakakku" ucapku.
"Kebiasaan Kak Ahes gampang lupa" ujar Ros cemberut.
"Okay, sepulang dari sini kamu bisa protes ke kakakku".
Aku dan Ros melanjutkan obrolan kami dan berjalan menuju kelas masing-masing. Kami adalah sahabat tetapi berbeda kelas. Jika salah satu sudah keluar dan harus mengalah menunggu. Pagi itu aku melihat Fatur berjalan ditengah gerimis yang deras. Karena Rosa ada keperluan mendadak kami harus berpisah. Aku harus melewati lapangan basket yang luas agar sampai di kelas. Gerimis bertambah semakin deras dan berubah menjadi hujan. Aku harus berhenti dan berteduh, biarkan aku terlambat karena hujan. Aku duduk di bangku kosong dan menatap hujan. Momen yang ku tunggu, telah lama tak turun hujan. Aku melirik jam tanganku, lima menit lagi kelas akan di mulai. Ku telungkupkan wajahku di kedua tanganku, merasakan hembusan angin dan rintikan air. Aku tersadar akan sebuah sentuhan, ku buka wajahku dan ku tatap dia. Dan dia adalah Ahes memberiku payung. Saat yang sama datanglah seorang Fatur mengajakku untuk berjalan bersama.
"Na, sadarlah jangan tidur di tengah hujan" suara Ahes memecah.
"Rosa ada perlu dadakan, aku sendirian jadi".
"Kubawakan payung untukmu baru saja aku membelinya" ujar Ahas tersenyum.
"Terima kasih, brother".
Ketika obrolan kami dipecahkan oleh suara Fatur yang datang dan menghampiri.
"Hey, kamu Nana bukan?" tanya Fatur.
"Iya, benar. Mengapa kamu belum ke kelas juga?".
"Oh, tadi aku melihatmu bersama sahabatmu dan aku mengikutimu" ujarnya tersenyum.
"Dia yang bernama Fatur?" tanya Ahes terbelalak.
"Perkenalkan saya Fatur teman sebangku Nana" Fatur mengulurkan tangan pada Ahes.
"Ku titip adikku, aku harus berangkat ke kampus" jawab Ahes menepuk pundak Fatur dan meninggalkan kami.
"Ayo, Nana! Kita jalan sekarang".
Di tengah hujan kami harus berbagi payung, ku lihat lantai atas dimana kelasku berada masih terlihat anak-anak yang berlalu lalang. Aku dan dia memulai pembicaraan ringan. Pagi itu aku bisa melihat senyumannya sangat menenangkan untukku. Sesekali dia berbicara sambil menatapku, senyuman itu sulit untuk dihapus dari ingatanku hingga saat ini. Sebuah hal yang ku ingat dari cinta pertama ketika bisa melihatnya dan dia tersenyum kepadaku. Situasi waktu itu, ku anggap sepele. Setelah perpisahan begitu lama dan belum terpisah jauh ketika datang ke tempat yang spesial baginya dan mencuri waktu demi melihatnya meski sebentar. Awal jatuh hati tak ada kiranya, hanya anggapan sebuah singgahan. Ketika berpisah dan memilih melanjutkan pilihan barulah terasa dan mendalam hingga saat ini. Menghapusnya sangat susah dari memori-memori. Ku anggap ini adalah hal terindah dan merasakan kehadiran cinta pertama.
Komentar
Posting Komentar